
Riset Pemilih: Perilaku Memilih Di Kabupaten Cilacap Dalam Pemilu 2014
Kegiatan riset merupakan terobosan baru dari KPU RI, dalam bidang sosialisasi, pendidikan pemilih, dan SDM. Memasukkan tradisi baru, tradisi ilmiah dan intelektual, yang hasilnya dapat dijadikan referensi dan kontemplasi agar kelak tercapai pemilu yang berkualitas dalam segala aspek.
KPU Kabupaten Cilacap melakukan riset secara swakelola dan mandiri, memilih tema riset Perilaku Memilih (Voting Behaviour), dengan judul : "Perilaku Memilih Di Kabupaten Cilacap Dalam Pileg Dan Pilpres 2014 (Studi Kasus Pada Nelayan Dan Petani). Secara global ingin mengetahui perilaku memilih yang diwakili oleh kelompok profesi yang cukup banyak populasinya di Kabupaten Cilacap. Disisi lain, kelompok ini dapat dikategorikan kelompok marjinal. Hal-hal yang yang spesifik adalah yang berkaitan dengan representasi TPS, faktor internal dan eksternal dalam memilih, daya tarik dan daya tolak (pull and push factors) dalam memilih, informasi yang didapat berkaitan dengan pemilu, tekanan dalam memilih, korelasi antara pileg dan pilpres, dan tipologi pemilih.
Dari riset, hasil yang diperoleh bahwa secara umum faktor teknis di TPS dan tata cara mencoblos tidak ada kendala dan familiar. Daya tarik dalam pileg dan pilpres terletak pada figure individual. Parpol bukan lagi sesuatu yang sakral dalam menentukan pilihan, sehingga berpindah parpol dengan mengikuti figur caleg bukan hal yang mustahil. Korelasi antara caleg, parpol, dan capres/cawapres tidak signifikan, masyarakat memilih caleg tanpa melihat parpol, memilih capres/cawapres tanpa melihat parpol pengusungnya.
Masyarakat juga telah mendapat informasi, walaupun belum secara komprehensif dan koheren, dari media cetak dan elektronik, APK (alat peraga kampanye). Pemahaman tentang kontestan pemilu, untuk parpol masyarakat cukup memahami, apalagi parpol yang lama era orde baru, atau awal reformasi. Caleg yang dikenal adalah caleg DPRD Kabupaten/Kota, caleg DPRD Propinsi dan DPR RI sebagian dikenal, untuk calon anggota DPD masyarakat cenderung tidak mengenal, sedangkan capres/cawapres masyarakat sangat mengenalnya dengan baik. Kontestan pemilu (caleg) yang sudah dikenalnya kecenderungan dipilih tanpa ada alternatif pilihan lain.
Faktor internal dan eksternal dalam memilih, lebih banyak berpengaruh berasal dari dari faktor eksternal, yaitu apa yang ada dalam kontestan pemilu, baik secara figur individual caleg, pengurus partai politik, kampanye, track records. Sedangkan dari dalam pemilih adalah dengan karakteristik umum orang jawa, masyarakat marjinal dengan tingkat pendidikan dan penghasilan rendah, maka yang dipilih sesuai kultur, geografis, sosial, psikologis, dan need.
Daya tarik pada caleg terletak pada ketokohan, kedekatan tempat tinggal/putra daerah, visi misi/program/janjinya. Sedangkan untuk capres/cawapres yang menjadi daya tarik adalah ketokohanhya, karakter pribadinya seperti sederhana, low profile, suka blusukan, merakyat, sipil, juga visi misi/program/janjinya yang aplikatif dan kontekstual pada realitas masyarakat, dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat. Sedangkan daya tolaknya adalah kecenderungan lawan dari karakter sederhana, low profile, merakyat, bahasa yang tidak membumi, serta hal-hal yang bersifat uthopis. Persoalan sipil ataupun militer tidak menjadi hal yang penting, walaupun ada beberapa responden yang menyatakan sipil/militer termasuk daya tariknya/daya tolaknya.
Tipologi pemilih di daerah penelitian dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu tipologi pemilih tradisional dan tipologi pemilih skeptis, walaupun hal tersebut tidak kongruen, tidak sama dan sebangun secara teoritis.
Ada beberapa temuan yang sedikit unik dan sekedar pernak pernik, yaitu :
Pertama, masalah agama, kelompok nelayan yang memilih caleg karena kesamaan agama 70 persen, tetapi yang memilih caleg yang menjalankan agamanya 100 persen. Sedangkan pilihan kelompok petani yang memilih caleg sama agamanya 100 persen, tetapi menjalankan agamanya 80 persen. Dengan demikian, ada dua persepsi dan sudut pandang yang berbeda, tetapi keduanya sama sama logis.
Kedua, visi misi/program/janji pada prinsipnya semuanya baik, dan bila direalisasikan, pemilih akan sepakat. Sehingga visi misi/program/janji bukan faktor utama yang menjadi daya tarik, hal ini karena munculnya stigma, betapa sulitnya merealisasikan visi misi/ program/janji.
Ketiga, tidak ada memilih karena kebencian dengan kontestan pemilu lain, tetapi karena benar-benar pilihannya, tidak ada "ideologi" tinimbang-aluwung. Kalaupun tidak ada yang menjadi pilihan, merupakan pilihan yang asal/sembarang saja. Dan, tidak ditemukan adanya indikasi stockholm syndrome, yaitu sebuah kebencian yang berubah menjadi sebuah pilihan.
Keempat, dalam memilih calon anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah), karena ada fotonya, muncul kecenderungan memilih yang terlihat cantik dalam surat suara.
Kelima, data pada KPU Kabupaten Cilacap, pada caleg jadi DPRD Kabupaten Cilacap 2014, prosentase terbanyak caleg dengan nomor urut 1 (satu).
Anda dapat mengunduh bukunya disini